Selasa, 06 November 2012

Be A True Hero

Beberapa hari belakangan ini saya selalu kesal kalo mau berangkat ke atau pulang dari kampus. Setelah membaca kalimat pertama tadi, pasti kalian mikir, "trus gue musti bilang wow gitu". Ya kan? ya kan? ngaku deh!

Salah satu masalah merepotkan yang melanda kota-kota besar seperti Jakata adalah traffic jam atau kemacetan lalu lintas. Sangat merepotkan, bermacam-macam kendaraan berkerumunan di jalanan yang memang sudah sempit. Saling mendahului, berjubel berebut tempat kosong. Tidak peduli pada orang lain, hanya dirinya sendiri. Tidak ada yang peduli bahwa para pejalan kaki merasa terganggu pada para pengguna motor yang juga ikut menggunakan "jalannya". Tidak ada supir angkot yang peduli pada teriakan marah orang-orang dibelakangnya saat ia berhenti mendadak untuk menurunkan penumpang. Apalagi jika ada aksi demo di jalanan, truk-truk juga saling mendahului kendaraan-kendaraan kecil disampingnya. Lalu terjadi kecelakaan pada truk pembawa minyak, truknya terbalik menumpahkan minyak di jalanan. Jalanan di alihkan karena adanya kecelakaan itu ke jalan-jalan kecil di dekat situ. Kuantitas kendaraan yang ada, berbanding terbalik dengan kondisi jalanan yang notabene kecil dan sempit. Bisa bayangkan betapa mumetnya lalu lintas? Realitas itulah yang terjadi beberapa hari yang lalu di kota tempat  tinggal saya, Samarinda.

Tapi saya juga tak bisa menyalahkan kejadian ini sepenuhnya pada pemerintah atau pada polisi lalu lintas yang lalai dalam mengatur lalu lintas. Egoisme manusialah yang menyebabkan terjadinya masalah-masalah seperti itu. Manusia disini bisa berarti supir truk minyak korban kecelakaan tadi (mungkin karena sedang buru-buru sehingga tidak hati-hati, padahal jalanan di depannya terdapat tanjakan dan merupakan pertigaan yang padat kendaraan), bisa jadi supir-supir angkot yang suka berhenti mendadak atau para penumpangnya yang minta berhenti di area yang sudah tahu macet, bisa jadi para pengguna kendaraan pribadi yang suka menyerobot seenaknya, atau itu bisa jadi saya.

Ya, sebagai manusia biasa yang sering khilaf, saya sadar sering ugal-ugalan di jalan, suka menyerobot sembarangan saat terburu-buru pergi ke kampus. Pura-pura tidak dengar saat orang yang saya serobot mengumpat marah atau bermuka tebal dengan tampang-tak-berdosa ketika tetap berjalan meskipun lampu telah menyatakan warna merah. Bukankah tindakan itu mengganggu pengguna jalan yang lain? Atau bisa parah keadaannya jika tindakan saya itu menyulut kecelakaan lalu lintas, yang kemudian menyebabkan kemacetan (again). Wah, saya harus intropeksi diri kalo begitu! Begitu pula dengan orang lain termasuk Anda-Anda yang merasa seperti saya.

Tapi diantara kejadian menyebalkan seperti itu, di antara orang-orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli pada hak orang lain (termasuk ane, nih!). Ada beberapa orang berjiwa mulia yang membuat saya terharu karena peran penting mereka dalam masalah lalu lintas. Mereka yang menurut saya sama berjasanya seperti guru "pahlawan tanpa tanda jasa". Bahkan mungkin lebih berjasa, karena saya tidak yakin apakah aksi mereka di hargai dengan gaji yang tetap seperti halnya guru. Merekalah para sukarelawan lalu lintas. Mereka rela berdiri ditengah kepulan asap bau, beracun dari kendaraan-kendaraan disekitarnya. Rela berpanas-panasan dibawah terik matahari. Tanpa pamrih sama sekali. Mungkin hanya ucapan terima kasih dari beberapa orang yang merasa terbantu dengan kehadiran mereka. Kenapa saya bilang tanpa pamrih? Namanya juga su-ka-re-la-wan, ya pasti aksi-aksi yang mereka lakukan atas dasar sukarela, ikhlas, meskipun secara finansial tidak menguntungkan buat mereka sendiri.

Pernah pada suatu hari saat pulang dari kampus, jalanan yang sering saya lewati begitu macetnya, padahal sangat jarang terjadi kemacetan di jalan tersebut kecuali ada event penting seperti kebakaran (sejak kapan itu jadi event? Itu namanya bencana tauu! ckckck). Selidik punya selidik, ternyata titik kemacetan itu terjadi di sebuah pertigaan jalan yang tidak punya lampu lalu lintas. Sebuah truk besar ternyata ingin belok ke jalan sebelah kanan, tetapi dihalangi mobil yang juga ingin belok ke sebelah kanan, sedangkan jalanan tersebut juga penuh kendaraan yang tidak bisa lewat karena dihalangi truk besar tadi. Bunyi klakson bertalu-talu. Karena sudah tak ada lagi yang bisa mereka lakukan, maka masing-masing menekan klakson sambil mengumpat ke orang-orang yang menghalangi jalan mereka. Para pengguna motor beruntung, masih bisa menyelip-nyelipkan diri di celah-celah yang sempit, tidak mau mengalah. Tapi bukannya mengurangi, malah tambah memperparah keadaan. Lalu seorang bapak-bapak yang juga berada ditengah kemacetan, berhenti dan memarkirkan motornya ditepi jalan. Dengan langkah yang ringan, ia pergi ke tengah titik kemacetan, membantu dengan menjadi setengah lampu lampu lalu lintas setengah tukang parkir. Saya terhenyak. Di antara semua orang yang ada, hanya dialah satu-satunya yang tidak mementingkan dirinya sendiri. Mengabaikan kepentingannya sendiri demi kepentingan umum. Benar-benar mulia sekali perbuatannya. Ada hikmah dalam kejadian ini, tidak perlu berpendidikan tinggi untuk berkontribusi dalam kebaikan di masyarakat. Hanya butuh keikhlasan dalam bertindak. Sedangkan saya yang mengaku-ngaku orang pintar (ciee! orang pintar, hahaha), orang intelek, berakademis tinggi, atau apalah sebutannya, toh tidak peduli. Hanya mengkritik pedas orang-orang (pemerintah, polisi lalu lintas, sopir truk, dll) saja didalam kepala, tapi tak mau dan terlalu malas melakukan tindakan nyata seperti bapak tadi. Itu baru masalah sepele, tapi bagaimana dengan masalah yang lebih besar? Yang tidak hanya menyangkut masalah lalu lintas, tapi juga hajat hidup orang banyak? Mari kita renungkan lagi, apakah kelak kita bisa menyumbangkan sedikit kontribusi kebaikan untuk rakyat dan negara ini atau malah menjadi pelaku trouble maker, jadi beban bagi bangsa?

Mengheningkan cipta! Mulai!

0 komentar:

Posting Komentar